Kritik Terhadap Aliran Adat
Istiadat, Hedonisme, Humanisme, Utilitarianisme, Vitalisme
A.
Adat Istiadat (Sosialisme)
Menurut
aliran ini baik atau buruk ditentukan berdasarkan adat-istiadat yang berlaku
dan ditentukan berdasarkan adat-istiadat yang berlaku dan dipegang teguh oleh
masyarakat. Orang yang mengikuti dan berpegang teguh pada adat dipandang baik,
dan orang yang menentang dan tidak mengikuti adat-istiadat dipandang buruk, dan
kalau perlu dihukum secara adat.
1.
Argumen
Melihat hal ini argumen saya
adalah pandangan baik buruk menurut adat istiadat atau sosialisme itu sifatnya masih
nisbi dan relatif karena adat istiadat setiap masyarakat itu tidak sama
semuanya. Sehingga secara ilmiah pandangan ini masih belum mencapai tingkat
kepuasan karena masih belum memandang secara objektif terhadap perbuatan baik
atau buruk.
2.
Faktanya adalah misalnya
antara adat istiadat orang barat dengan orang timur itu berbeda dalam beberapa
hal, maka dalam pandangan penilaian apakah itu baik atau buruk pun pasti berbeda.
3.
Solusi
Dalam memberikan pandangan dan
penilaian baik atau buruk harus disesuaikan dengan kondisi lingkungan, tempat,
suku, agama, ras dan lain-lain yang sesuai dengan adat istiadat masing-masing.
B.
Hedonisme
Aliran
hedonisme adalah aliran filsafat yang terhitung tua, karena berakar pada
filsafat yunani, khususnya pemikiran filsafat Epicurus (341-270 SM), yang
selanjutnya dikembangkan oleh Cyrenics sebagaimana telah diuraikan diatas, dan
belakangan ditumbuh-kembangkan oleh Freud.
Menurut paham
ini banyak yang disebut perbuatan yang baik adalah perbuatan yang banyak
mendatangkan kelezatan, kenikmatan, dan kepuasan nafsu biologis. Aliran ini
tidak mengatakan bahwa semua perbuatan mengandung kelezatan, melainkan ada pula
yang mendatangkan kepedihan, dan apabila disuruh memilih manakah perbuatan yang
harus dilakukan, maka yang dilakukana adalah yang mendatangkan kelezatan.
Epicurus sebagai peletak dasar paham ini mengatakan bahwa kebahagiaan atau
kelezatan itu adalah tujuan manusia. Tidak ada kebaikan dalam hidup selain
kelezatan dan tidak ada keburukan kecuali penderitaan. Dan akhlak itu tak lain
dan tak bukan adalah berbuat untuk menghasilkan kelezatan dan kebahagiaan serta
keutamaan. Keutamaan itu tidak mempunyai nilai tersendiri, tetapi nilainya
terletak pada kelezatan yang menyertainya.
Namun
demikian Epicurus lebih mementingkan kelezatan akal dan rohani ketimbang
kelezatan badan, karena badan itu terasa dengan lezat dan derita selama adanya
kelezatan dan penderitaan itu saja, dan badan itu tak dapat mengenangkan
kelezatan yang telah lalu dan tidak dapat merencanakan kelezatan yang akan
datang. Yang dapat merencanakan kelezatan itu adalah akal dan rohani. Oleh
karena itu kelezatan akal dan rohani itu lebih lama dan lebih kekal daripada
kelezatan badan. Dengan demikian pandangan Aliran Hedonisme tentang kelezatan
ini sifatnya masih bercorak ilmiah dan intelektualistik.
1.
Argumen
Dalam hal ini pandangan
hedonisme yang terdahulu dengan yang sekarang itu berbeda dalam penilaian dan
pandangan baik atau buruk suatu perbuatan, sehingga dalam prakteknya paham
hedonis pada zaman sekarang lebih mementingkan kepada kelezatan badan atau
biologis saja dan pandangan hedonisme kepada hal intelektual dan rohani
seakan-akan menjadi tidak ada atau menjadi hilang.
2.
Fakta
Dalam memandang dan menilai
sesuatu itu baik atau buruk paham hedonime pada masa kini hanya kepada
kelezatan, kenikmatan dan kepuasan biologis atau seksual saja. Sehingga seksual
itu menjadi hal biasa dilakukan karena dianggap itu adalah hal yang baik.
3.
Solusi
Maka dari itu perlunya
dikembalikan kepada pandangan dan penilaian kepuasan, kenikmatan dan kelezatan
pada akal dan rohani. Atau pandangan ini tidak dihilangkan dalam menentukan
baik atau buruk. Adapun yang pada pandangan secara biologis perlu dilihat
akibat dari adanya seks bebas. Karena jika di pandang baik orang akan
semena-mena berbuat seks bebas dan banyaknya efek negatif dari hal itu misanya
dengan adanya peyakit aids.
Akan
tetapi hal ini juga masih sifatnya hanya berpandangan kepada kelezatan,
kepuasan dan kenikmatan saja tanpa memandang hal lain. Maka pandangan ini masih
kurang bisa di terima karena belum menyeluruh dalam memberikan pandangan apakah
itu baik atau buruk.
C.
Intuisisme (Humanisme)
Instuisi
adalah kekeuatan batin yang dapat menentukan sesuatu sebagai baim atau buruk
dengan sekilas tanpa melihat buah dan akibatnya. Kekuatan batin disebut juga
sebagai kata hati adalah potensi rohaniah secara fitrah telah ada pada diri
setiap orang. Paham ini berpendapat bahwa setiap manusia mempunyai kekuatan insting
batin yang dapat membedakan baik dan buruk dengan sekilas pandang.
Kekuatan
batin ini adalah kekuatan yang telah ada dalam jiwa manusia, tidak terambil
dari keadaan diluarnya. Kita diberi kemampuan untuk membedakan yang baik dan
yang buruk, sebagaimana kita diberi mata untuk melihat dan diberi telinga untuk
mendengar
Menurut paham
ini perbuatan yang baik adalah perbuatan yang sesuai dengan penilaian yang
diberikan oleh hati nurani atau kekuatan batin yang ada dalam dirinya. Dan
sebaliknya perbuatan buruk adalah perbuatan yang menurut hati nurani atau
kekuatan batin dipandang buruk. Paham ini dikenal dengan paham humanisme.
Penentuan
baik dan buruk yang berdasarkan instuisi ini dapat menghasilkan penentuan baik
dan buruk secara universal atau berlaku bagi masyarakat pada umumnya.
1.
Argumen
Dalam pandangan ini masih
belum jelas karena masih belum ada kesamaan dalam menentukan baik atau buruknya
perbuatan. Karena hati nurani masing-masing orang itu pun berbeda disebabkan
dari hal memiliki tempat tinggal, kebangsaan, ras, agama, suku yang berbeda.
2.
Fakta
Jika seseorang memandang dari
hati nuraninya bahwa itu baik, maka belum tentu pandangan orang lain itu akan
sama dengan pandanganya. Karena pada dasarnya setiap manusia itu berbeda-beda
baik itu dalam bentuk, pikiran, karakter dan lain sebagainya.
3.
Solusi
Dalam menilai dan memandang
apakah itu baik atau buruk hendaknya dilihat dari beberapa aspek. Karena setiap
manusia itu mempunyai nurani yang berbeda satu sama lain. Jika hanya dilihat
dari segi nurani manusia saja, maka tidak ada titik kesamaan yang bisa
membedakan baik atau buruknya perbuatan.
D.
Utilitarianisme
Secara
harfiah utilis berarti berguna. Menurut paham ini bahwa yang baik adalah yang
berguna. Jika ukuran ini berlaku bagi perorangan, disebut individual, jika
berlaku bagi masyarakat dan negara disebut sosial.
Kegunaan
dalam arti bermanfaat yang tidak hanya berhubungan dengan materi melainkan juga
dengan yang bersifat rohani bisa diterima. Dan kegunaan bisa juga diterima jika
yang digunakan itu hal-hal yang tidak menimbulkan kerugian bagi orang lain.
Nabi misalnya menilai bahwa orang yang baik adalah orang yang memberi manfaat
pada yang lainya. (HR. Bukhori)
1.
Argumen
Jika baik dan buruk itu
dilihat dari segi berguna atau tidak, maka penilaian ini masih hanya memandang
sebelah. Sedangkan yang buruk pun bisa bermanfaat bagi yang suka berbuat jahat,
sehingga apa pun yang berguna baik itu yang benar ataupun tidak menjadi sama
saja.
2.
Fakta
Seseorang yang mencuri
misalnya dia bisa menganggap hal yang dilakukanya itu adalah baik karena
dasarnya hal itu bermanfaat baginya. Padahal bagi orang yang dicuri itu adalah
sebaliknya yaitu rugi.
3.
Maka dari hal itu penilaian ini
masih kurang bisa memuaskan secara intelektual karena hanya memandang dari satu
sisi saja tanpa memandang dari sisi yang lain. Dalam menilai sesuatu itu harus
memandang dari berbagai hal atau sisi.
E.
Vitalisme
Menurut paham
ini baik adalah yang mencerminkan kekuatan dalam hidup manusia. Kekuatan dan
kekuasaan yang menaklukan orang lain yang lemah dianggap sebagai yang baik.
Paham ini lebih lanjut cenderung pada sikap binatang, dan berlaku hukum siapa
yang paling kuat dan menang itulah yang baik.
1.
Argumen
Paham ini tidak bisa diterima
di masyarakat yang sudah maju, karena masyarakat akan menilai ini tidaklah
benar karena masyarakat sudah mempunyai banyak ilmu pengetahuan dan
keterampilan masing-masing. Maka dari itu paham ini secara tegas akan ditolak,
apalagi sejalan dengan adanya Hak Asasi Manusia yang sudah diakui oleh seluruh
dunia. Masyarakat akan menggesernya menjadi paham yang demokratis karena
masyarakat sudah bisa berfikir cerdas. Bisa membedakan mana yang harus
dilakukan dan mana yang harus ditolak atau ditinggalkan.
2.
Fakta
Dalam kehidupan masa kini yang mempunyai kekuatan dan
kekuasaan itu tidak bisa di jadikan tolak ukur baik atau buruk. Karena jika hal
ini masih ada, maka sama halnya dengan binatang yang kuat yang menang.
3.
Solusi
Dalam penilaian dan memberikan pandangan seharusnya
dilihat dari berbagai segi dan aspek keinginan manusia secara global. Dan
hakikat manusia itu apakah mau disamakan dengan binatang yang tidak memiliki
akal? Tentu saja tidak. Karena manusia itu mampu berpikir cerdas, apalagi
dengan adanya dukungan teknologi yang modern pada zaman ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar