Manusia Sebagai Obyek Dakwah, Pendekatan Filosofis
Tentang Konsep Manusia
A. Manusia Sebagai Objek Dakwah
Kata dakwah (mengajak),
secara esensial mengandung tiga dimensi yang bersifat integral, yaitu tidak
dapat dipisahkan antara satu dengan lainya. Tiga dimensi tersebut ialah
penyadaran yang ditujukan kepada fitrah manusia sebagai makhluk monoteis
(bertauhid) dan beriman kepada Allah, pengarahan yang ditujukan kepada hawa
nafsu, dan bimbingan yang ditujukan kepada akal sebagai power of reason
(kekuatan penalaran). Dari tiga dimensi di atas, jelaslah bahwa yang menjadi
subyek dan obyek dakwah adalah manusia.
1.
Dimensi
Penyadaran
Pada
hakikatnya, dakwah menghendaki agar manusia sadar terhadap jati dirinya sebagai
makhluk yang beriman kepada Allah. Menurut Ibnu Taimiyah “pada dasarnya
manusia dilahirkan ke dunia tidaka memiliki pengetahuan apapun.” Ungkapan
ini berlandaskan kepada pernyataan al-Quran “sesungguhnya tuhanmu akan
menyelesaikan perkara di antara manusia dengan keputusan-Nya”. Ayat ini
menjelaskan bahwa manusia kondisi awalnya tidak memiliki pengetahuan apa-apa.
Namun demikian, manusia dibekali dengan daya-daya potensial yang disebut
fitrah.
Daya-daya
tersebut inheren pada diri manusia, sehingga ia dapat menduduki posisi sebagai
al-Ahsan al-Taqwim. Mengenai hal ini Ibnu Taimiyah membagi daya-daya yang
terkandung dalam fitrah pada tida bagian :
a. Daya
Intelek (quwwah al-aql)
Yaitu daya yang
berpotensi untuk mengenal dan mentauhidkan Allah. Dengan daya ini manusia dapat
membedakan antara yang benar dan yang salah (yufariq baina l’-haq wa l-bathil).
Disamping itu, dengan daya ini manusia memperoleh pengetahuan. Inilah yang
menjadi indikator manusia berbeda dengan makhluk lainya, yakni berfikir untuk
mencari kebenaran. Oleh karenanya, manusia yang mengingkari terhadap daya ini,
konsekuensinya ia akan menjadi kufur atau musyrik.
Menurut Dr. Juhaya S.
Praja, “di dalam daya intelek terkandung daya nazhar dan iradah. Daya nazhar
terdiri dari dimensi kognisi, persepsi, dan komprehensi. Sedangkan daya iradah
terdiri dari dimensi emosional dan kemempuan menialai. Dengan demikian, secara
naluriah manusia cenderung untuk berbuat kebajikan. Maka dakwah dalam proses
penyadaran adalah membimbing akal manusia agar mampu mengontrol jati dirinya
sebagai manusia yang ideal dan beriman.
b. Daya
Ofensif (Quwwah al-shahwah)
Yakni suatau daya yang
berpotensi menginduksi obyek-obyek yang menyenangkan dan fragmatis. Jika
seseorang mengingkari daya ini, maka ia akan terjerumus pada
perbuatan-perbuatan hedonistis yang bertentangan dengan syari’at, seperti
perzinahan, perjudian, korupsi, dan jenis perbuatan lainya yang serupa.
c. Daya
Defensif (Quwwah al-ghadab)
Yaitu daya yang
berpotensi untuk menghindari kejahatan dan kemafsadatan. Dengan demikian, orang
yang mengingkari daya ini, niscaya ia akan berbuat kejahatan yang tidak
manusiawi, seperti pembunuhan dan penganiayaan.
Tahap awal dalam
berdakwah adalah mengingatkan kembali kepada fitrah manusia dengan proses
penyadaran bahwasanya ia dilahirkan ke dunia ini dalam keadaan suci. Tentunya
dari penyadaran output yang diharapkan adalah taubat, yakni sebuah poyeksi
pengakuan kembali manusia terhadap eksistensinya sebagai makhluk yang harus
mengabdi kepada Allah.
2. Dimensi
Pembebasan
Setelah melakukan penyadaran, maka langkah
selanjutnya adalah aktualisasi pembebasan, yaitu menghapus dunia lama yang
tidak islami menjadi islami. Dengan kata lain, dakwah dalam konteks pembebasan
berarti melakukan rekonstruksi masyarakat yang islami.
Islam
sangan menitikberatkan peranan etika (akhlak) dalam kehidupan. Sebagaimana
dikatakan oleh Fazlur Rahman, “al-Quran yang dijadikan sumber dan pedoman
utama dalam islam memiliki tujuan sentral, yaitu menciptakan tata sosial yang
mantap dan adil di bumi ini berlandaskan etika.” Oleh karenanya proses
dakwah dalam pembebasan ini mencakup empat unsur : Keyakinan, Fikrah
(pemikiran), Sikap, dan Perilaku.
Dalam
rangka mengislamisasikan empat unsur tersebut, maka diperlukan aktualisai
konsep tauhid, sebab di samping merupakan proses seluruh ajaran islam, juga
sebagai pandangan yang paling fundamental dalam islam, karenanya di dalamnya
tersirat koherensi dan keselarasan antara semua bagian alam semesta ini.
Minimal ada tiga hal yang dapat kita ambil dari esensi ajaran tauhid, yaitu :
a. Tujuan
penciptaan alam semesta
b. Pemebasan
dan kemerdekaan manusia dari perbudakan
c. Penghambaan
yang dilakukan hanya kepada Allah serta meniadakan semua hak kedaulatan dan
perwalian siapapun di atas masyarakat manusia selain Allah.
Hal
ini menunjukan bahwa tauhid mampu menggerakan aktivitas dakwah untuk membebaskan
manusia dari perangkap-perangkap nativisme yang mengajak agar kembai ke ajaran
nenek moyang tanpa melihat apakah ajaran tersebut rasional atau tidak. Jika
tauhid ini dijadikan landasan dalam proses dakwah, maka fungsi dakwah juga akan
mampu menyelamatkan amnusia darikeangkuhan sekularisme yang cenderung
mengkultuskan manusia sebagi tuhan, sehingga mereduksi nilai-nilai agama dengan
memunculkan nilai-nilai humanistik.
3. Dimensi
Pelembagaan
Sebagai
manifestasi teologis, dakwah harus diimplementasikan dalam kehidupan sosial,
yakni dengan melembagakan nilai-nilai islam ke dalam tatanan masyarakat.
kewajiban mengajak manusia supaya masuk ke jalan Allah (sistem islam),
pertama-tama ditujukan kepada setiap muslim. Namun karena dalam masyarakat
terdapat kompleksitas masalah, maka usaha-usaha dakwah tidak akan efektif jika
dilakukan secara individual (perorangan). Oleh karenanya dalam al-Quran
dijelaskan bahwa untuk menegakan kebenaran dan keadilan (ma’ruf) serta mencegah
kezhaliman (munkar), sesama muslim diharuskan bekerja sama. Dalam hal ini
tentunya ada realisasi pelembagaan, yakni nilai-nilai yang telah diperoleh
dalam proses penyadaran dan pembebasan, kemudian dilembagakan dalam sebuah
sistem yang kokoh. Pelembagaan yang dimaksud disini adalah pelembagaan islam
dalam kehidupan usrah, jamaah dan umat sebagai proses institusional. Misalnya
usrah pengajian majelis taklim kaum ibu dilembagakan menjadi himpunan pengajian
dalam sebuah lembaga formal. Atau jamaah mendirikan lembaga-lembaga islam,
seperti Pondok Pesantren, TK al-Quran, TPA, sekolah-sekolah islam dan
lain-lain.
Jika
proses dakwah telah menginjak pada tahap pelembagaan, pada dasarnya kewajiban
dakwah merupakan kewajiban setiap pemeluk, atau sekurang-kurangnya ada
segolongan umat dari golongan tersebut yang melakukanya. Segolongan yang
dimaksud di sini adalah sebuah lembaga dakwah formal yang telah dikelola dan
digerakan dalam sistem manajemen yang islami. Bila kita telaah kondisi di
Indonesia, ternyata cukup banyak lembaga dakwah yang telah mampu bergerak di
bidang ekonomi dan kesejahteraan sosial, misalnya BAZIS DKI Jakarta, Dompet
Du’afa, Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII) Lembaga Dakwah Nahdhatul Ulama
(LDNU), Lembaga Dakwah Muhammadiyah dan sebagainya. Dengan demikian orientasi
dakwah dalam tahap pelembagaan adalah dakwah bi al-hal, yang dalam hal ini
dakwah merupakan bagian yang pasti ada dalam kehidupan masyarakat. Maka tujuan
sentral dari pelembagaan dakwah, yaitu mewujudkan sistem kemasyarakatan yang
islami, sehingga melahirkan ummatan khiran (umat yang terbaik). Dari sinilah
terjadinya interaksi antara da’i dengan jama’ah dakwah. Konsekuensi logisnya
diharapkan dapat melahirkan kepemimpinan dakwah yang profesional seperti
diungkapkaan dalam al-Quran dengan terma uli’l-albab (orang-orang yang profesional)
B. Pendekatan Filosofis Tentang Konsep Manusia
Dalam
pendekatan terhadap manusia suapya bisa menerima ajakan, dakwah, atau pesan
dari kita, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu :
1.
Manusia dengan
sifat dasar
Pendekatan dakwah
terhadap manusia pertama harus mengetahui bahwa manusia itu memiliki sifat
dasar masing-masing yang berbeda. Adapun sifat dasar itu adalah :
a. Tertutup
Dalam menghadapi orang
yang tertutup tentunya yang berdakwah tidak boleh bersifat memaksa kepada objek
dakwah. Si pendakwah harus paham keadaan dia mengapa dia bersikap tertutup.
b. Terbuka
Berbeda dengan
menghadapi orang yang tertutup, ketika menghadapi objek yang bersifat terbuka
tentunya kita harus bisa terbuka dalam berdakwah.
2.
Usia yang
berbeda
Dakwah juga harus
melihat dari segi usia yang menjadi objek dakwah antara lain :
a.
Kanak-kanak
Dalam berdakwah kepada
kalangan kanak-kanak tentulah tidak boleh disamakan dengan berdakwah kepada
orang yang dewasa. Kepada anak-anak lebih cocok dengan bercerita atau
berdongeng dengan kisah-kisah para nabi, rosul, atau para wali Allah yang patut
dicontoh.
b.
Remaja
Bagi kalangan remaja
dakwah bisa dilakukan dengan memberikan motivasi-motivasi supaya dia selalu
bersemangat dalam beramal dan bangga menjadi remaja islam
c.
Dewasa
Adapun bagi orang
dewasa dakwah seharusnya lebih kepada yang bersifat bagaimana berhubungan
dengan Allah dan manusia atau disebut dengan muamalat
.
d.
Lanjut usia
Dakwah bagi orang yang
sudah lanjut usia lebih cocok adalah dengan motivasi untuk memperbanyak
beribadah atau hubunganya dengan akhirat dan kematian.
3.
Pendidikan
Pendidikan menjadi hal
yang harus diperhatikan pula ketika berdakwah. Kita harus tahu objek dakwah
yang dihadapi itu dari segi pendidikanya, karena jika disama ratakan tujuan
dakwah tidak akan tuntas. Karena masing-masing orang yang berpendidikan
berbeda, maka berbeda pula lah cara olah pikirnya. Dakwah itu tidak bisa
disamakan antara orang yang berpendidikan akhirnya sarjana dengan orang yang
hanya lulusan SD. Tentulah pasti akan berbeda. Adapun bisa kita bedakan objek
dakwah berdasarkan pendidikan terakhir antara lain :
a.
Usia Dini
b.
TK
c.
SD
d.
SMP
e.
SMA
f.
PT
g.
Tanpa Pendidikan
4.
Profeasi
Berdakwah juga harus
memperhatikan profesi atau pekerjaan yang menjadi objek. Jika yang menjadi
objeknya para petani, maka dakwah yang diberikan tentunya bagaimana menjadi
petani yang baik sesuai syari’at islam. Begitupula profesi-profesi yang lain
seperti :
a.
Petani
b.
Nelayan
c.
Pedagang
d.
PNS
e.
Pengusaha
f.
Ilmuan
5.
Demografi
Wilayah tempat tinggal
juga hal yang penting dalam memahami objek dakwah yang di hadapi.
6.
Budaya
Dalam menyampaikan
pesan kepada banyak orang tentu kita harus tahu budaya-budaya mereka
masing-masing yang berbeda. Minimal kita tahu hal-hal penting yang menjadi
budaya orang yang akan di beri pesan-pesan islam. Secara globalnya kebudayaan
itu bisa kita lihat dari dua bagian yaitu :
a.
Timur
b.
Barat
Cara
berdakwah kepada orang barat tentunya harus berbeda dengan berdakwah kepada
orang timur, karena budaya mereka pun masing-masing berbeda satu sama lain
bahkan mungkin bertolak belakang.
7.
Jenis kelamin
Hal lain yang harus
diperhatikan lagi adalah dari segi jenis kelamin yang berbeda. Hal ini kita
bisa bagi menjadi tiga bagian yaitu :
a.
Laki-laki
b.
Perempuan
c.
Waria
8.
Tuna
Manusia pasti memiliki
kekurangan baik itu dari segi fisik ataupun batin. Dari segi fisik kita harus
pandai berdakwah kepada beberapa saudara kita yang memiliki kekurangan fisik
seperti kepada :
a.
Susila
b.
Netra
c.
Wisma
d.
Rungu
9.
Dan ada beberapa
hal yang harus diperhatikan supaya kita sukses dalam berdakwah. Diantaranya
adalah dengan :
a.
Menyentuh Inderanya
Misalnya dengan kita
berpakaian yang indah atau enak dipandang orang ketika berdakwah atau selalu
memberikan wajah yang ramah pada siapa pun.
b.
Menyentuh
Akalnya
Misalnya dengan
menyampaikan pesan yang rasional atau dapat di tangkap oleh akal manusia.
c.
Menyentuh
Rasanya
Misalnya dengan bersikap simpati,
prihatin terhadap orang, atau merasakan apa yang diderita orang-orang.
C. Kesimpulan
Dengan
demikian kesimpulanya adalah
1. Manusia
sebagai subjek sekaligus objek dakwah islam dengan kata lain manusia itu ada
yang menjadi da’i atau yang berdakwah dan manusia juga yang menjadi objek
dakwah itu yaitu yang masih membutuhkan bimbingan agama.
2. Pendekatan
kepada manusia supaya dakwah sukses dan bisa diterima oleh masyarakat harus
memperhatikan beberapa hal antara lain seperti : dari segi sifat dasar, usia,
pendidikan, profesi, demografi, budaya, jenis kelamin dan tuna atau kekurangan
secara fisik dari manusia itu sendiri. Selain itu dakwah supaya sukses harus
memperhatikan tiga hal yaitu : menyentuh indera nya, akalnya dan juga
perasaanya. Dan dari hal itu dakwah harus dimulai dari diri sendiriterlebih
dahulu, karena kita tidak akan bisa mengajak orang bila kita sendiri tidak
melakukan terlebihdahulu sebelum menyampaikan kepada orang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar